Kebanyakan
orang menyebutnya Tutwuri Handayani yang sebenarnya
adalah Logo atau Lambang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. Lambang ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0398/M/1977 tanggal 6 September 1977 dengan
uraian arti lambang sebagai berikut:
(1) BIDANG
SEGI LIMA (Biru Muda)
Menggambarkan
alam kehidupan Pancasila.
(2) SEMBOYAN
TUT WURI HANDAYANI
Digunakan oleh
Ki Hajar Dewantara dalam melaksanakan system pendidikannya. Pencantuman
semboyan ini berarti melengkapi penghargaan dan penghormatan kita terhadap
almarhum Ki Hajar Dewantara yang hari lahirnya telah dijadikan Hari Pendidikan
Nasional.
(3) BELENCONG
MENYALA BERMOTIF GARUDA
Belencong
(menyala) merupakan lampu yang khusus dipergunakan pada pertunjukan wayang
kulit. Cahaya belencong membuat pertunjukan menjadi hidup.
Burung Garuda
(yang menjadi motif belencong) memberikan gambaran sifat dinamis, gagah
perkasa, mampu dan berani mandiri mengarungi angkasa luas. Ekor dan sayap
garuda digambarkan masing-masing lima, yang berarti: “Satu kata dengan
perbuatan Pancasilais”
(4) BUKU
Buku merupakan
sumber bagi segala ilmu yang dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
(5) WARNA
Warna putih
pada ekor dan sayap garuda dan buku berarti suci, bersih tanpa pamrih.
Warna kuning
emas pada nyala api berarti keagungan dan keluhuran pengabdian. Warna biru muda
pada bidang segi lima berarti pengabdian yang tak kunjung putus dengan memiliki
pandangan hidup yang mendalam (pandangan hidup pancasila).
Makna Logo
Pendidikan Nasional
Arti dari
semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa
memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di
antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung
tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan
yang baik).
Tut Wuri Handayani adalah penggalan dari
kalimat panjang yang terkenal dari Ki Hajar Dewantoro, pendiri Taman Siswa,
bapak pendidikan kita, yang baris terakhirnya juga menjadi bagian dari logo
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia : Ing Ngarso Sun Tuladha, Ing
Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Maknanya lebih kurang : di depan
memberi teladan, ditengah membimbing (memotivasi, memberi semangat, menciptakan
situasi kondusif) dan dibelakang mendorong (dukungan moral).
Kalimat itu menjadi rujukan saat bicara
tentang konsep kepemimpinan yang baik, memberi tuntunan bagaimana seharusnya
seorang pemimpin atau seorang guru (yang digugu dan ditiru) bertindak.
Ketiga kalimat itu berulang-ulang ditulis,
dibahas, diingat kemudian dilupakan. As usual, idelisnya kita sampai di mulut
saja. Begitu turun ke perut yang serba idealis tadi akan menguap ke atas dan
masuk kembali ke kepala dalam sebentuk angan-angan tentang suatu hal yang
ideal. Keluar lagi lewat mulut, begitu turun ke perut menguap lagi, dan
seterusnya, dan seterusnya. (Do you catch me?)
Kalimat itu begitu sering diucapkan, dibaca,
dibahas sampai si pendengar atau si pembaca lupa untuk memahami, belum sampai
taraf menghayati, apalagi mengamalkan. Untuk sampai ke tahap paham saja sulit.
Sebab umumnya begitu tahu, sudah puas. Berhenti, dan mengira dirinya sudah
hebat.
Ing Ngarso Sun Tuladha
Di depan memberi teladan. Duh susahnya menjadi
teladan. Menjadi teladan itu artinya si pemberi teladan harus senantiasa sadar,
aware terhadap pikiran, perkataan dan tindakannya. Melakukan segala sesuatu
secara benar. Memberi contoh yang baik. Itu sulit. Alamiahnya manusia itu
selalu mondar-mandir di dua kutub. Mana bisa menjadi baik terus. Seharusnya
juga tidak buruk terus.
Menyeimbangkan dua kutub itu adalah perjuangan
seumur hidup. Lalu kalau untuk seimbang saja harus berjuang seumur hidup,
sewaktu-waktu bisa tergelincir jatuh, bagaimana memberi teladan? Ya dengan
menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk tetap seimbang itu tadi. Saat kita
senantiasa sadar dan berusaha menyeimbangkan diri, tidak perlu repot-repot
memikirkan apa teladan yang baik, sebenarnya kita sudah memberi teladan.
Ing Madya Mangun Karsa
Di tengah memotivasi, menggugah semangat,
kemauan dan niat. Ini juga sulit. Bagaimana membuat situasi yang kondusif untuk
orang lain agar bisa berkembang, menggugah semangat untuk terus meraih kemajuan
itu sulit. Apalagi kita dihadapkan pada masalah internal diri kita sendiri dan
masalah eksternal dengan lingkungan kita. Tidak bisa? Oh bisa. Yang diperlukan
hanya niat baik untuk melakukannya. Asal paham lakonnya hidup, baris yang
inipun pasti akan dilakukan orang-orang dengan senang hati. (Bagaimana lakonnya
hidup? berdiamlah --maka kau akan tahu!).
Tut Wuri Handayani
Di belakang memberi dorongan moral. Nah ini
dia. Katanya seorang pemimpin atau guru atau orang yang lebih pandai, lebih
tahu-- saat membimbing orang lainnya harus bersikap sebagai among (ini bahasa
Jawa, bukan Inggris!). Pengemong. Pengasuh. Jadi yang menjadi fokus adalah yang
diasuh. Karena itu saat yang di asuh merasa lemah, merasa tidak mampu,
pengemong akan maju memberi dorongan semangat, dukungan moral. Dengan
kata-kata, dengan sikap perbuatan. Dengan hati yang penuh cinta. (iya penuh cinta,
karena tanpa yang satu ini, tidak akan pernah bisa ada tindakan tut wuri
handayani).
Jadi kesimpulannya apa yang coba disampaikan
KH Dewantoro itu adalah : sadarlah pada pikiran, perkataan dan tindakan kita,
pahami hidup dan kembangkan cinta kasih. Inilah pemahaman saya tentang Ing
Ngarsa Sun tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Apabila pemahaman saya tentang kalimat KH
Dewantoro ini mengalami distorsi makna karena ketidaktahuan saya, karena
dari pengalaman saya, setiap kata bahkan huruf, dalam bahasa Jawa selalu punya
makna, maka saya mohon maaf yang sebesar-sebesarnya dan mohon untuk masukannya
untuk menyempurnakan artikel ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar